Maka dari Itu kami nasihatkan pada para Nahdliyin agar meninggalkan acara peringatan 7 bulanan sebab semuanya bid’ah dan termasuk perilaku orang kafir!
______________________
*Dikutip dari buku : “Masalah Keagamaan” hasil Muktamar/Munas Ulama NU ke I s/d XXX
(yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua
Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al
Aziziyyah Denanyar Jombang, Kata Pengantar Menteri Agama Maftuh Basuni.
Wallahu ‘alam.
Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah & Salmah
Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili,
artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau
menghindari dari malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat
sehingga segala kesialan hilang dan lenyap.
Tinjauan Syari’at
Setiap orang tua pasti mengharapkan anak
yang bakal lahir kelak menjadi anak yang baik dan dapat memenuhi harapan
mereka terhadapnya. Apalagi sebagai seorang muslim dan muslimah,
harapan ditanamkan setinggi-tinggi agar anak yang bakal lahir akan
menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua orang tuanya.
Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang
beragama Islam di atas, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang
dikandung. Dan tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan
untuk tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang
akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur,
bermanfaat bagi agama dan bangsa. Suatu tujuan yang mulia
sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan ya… rasanya baik juga
upacara itu diadakan. Benarkah demikian?
Bila kita berbicara tentang syari’at,
maka perasaan harus disingkirkan karena agama itu dibangun bukan
berdasarkan perasaan manusia. Agama itu adalah apa kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Acara tujuh bulanan di atas (maupun acara tujuh bulanan yang lain menurut adat masing-masing) tidak ada dan tidak pernah dikenal dalam syari’at Islam yang diturunkan kepada Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam. Seandainya itu baik, tentu yang paling pertama mengerjakannya adalah para shahabat Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam
yang mereka itu adalah orang-orang yang paling bersegera dalam kebaikan
dan telah dipersaksikan kebaikan mereka oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu
kalau ada yang mengatakan: “Itu memang bukan dari Islam. Itu kan hanya adat dan yang demikian sudah umum di tengah masyarakat kita”.
Maka dijawab bahwa kalau itu hanya adat maka tidak boleh bertentangan
dengan syari’at Islam, bilamana bertentangan maka sekali-kali kita tidak
boleh melakukannya, dan ukurannya bukan sudah umum atau belum umum bagi
masyarakat.
Ibnu Taimiyyah rahimahullâh ketika membahas tentang perbedaan ibadah dan adat, beliau berkata: “Pada
asalnya ibadah itu tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya kecuali apa
yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sedangkan adat itu
pada asalnya tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang
dilarang Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin
Hanbal dan para imam yang lainnya: Asal kesesatan pada penduduk bumi
sesungguhnya tumbuh dari dua perkara berikut:
- Mengambil agama dari apa yang tidak disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh Ibnu Taimiyah, juz 2, hal. 584 bersama tahqiq)
Sekarang kita lihat ringkasan acara tujuh bulanan di atas, ternyata penuh dengan khurafat dan kesyirikan di samping menghambur-hamburkan harta, pemborosan dan perbuatan haram lainnya. Kita tidak membatasi dengan upacara ala Bugis Bone saja, namun seluruh upacara yang bertentangan dengan syari’at Islam mengandung hal-hal demikian.
Syari’at Islam memang menghasung para
orang tua agar berupaya memiliki anak yang shalih dan berharap agar anak
dapat lahir dengan selamat, namun tidak berarti segala cara harus
ditempuh.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah
menurunkan Islam kepada kita, yang berisi aturan-aturan hidup yang
sangat lengkap dan sempurna. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan
anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka istilahkan
ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan), jauh sebelum
kehamilan sang anak, Islam telah menetapkan aturan lewat lisan
Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam. Beliau menuntunkan kepada seorang suami yang ingin berjima’ dengan istrinya agar berdoa:
بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا
الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ
بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ١٤١ ومسلم ص
١٤٣٤ وأبو داود ص ٢١٦١ والترمذي ص ١٠٩٢ وابن ماجه ص ١٩١٩ والدارمي ص ٢٢١٢
وأحمد ١/٢١٧، ٢٢٠، ٢٤٣، ٢٨٦)
“Dengan nama Allah, Ya Allah
jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau
anugerahkan pada kami. Apabila ditakdirkan bagi mereka berdua seorang
anak (dari jima’ tersebut) maka setan tidak akan memberi mudharat pada
anak tersebut”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad)
Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:
فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ.
“Apabila ditakdirkan bagi keduanya
(mendapat) seorang anak dalam jima’ tersebut maka setan tidak akan
memudharatkannya selama-lamanya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullâh menukilkan dalam Fathul Bari 9/229 perkataan dari Ad-Dawudi bahwasanya yang dimaksud dengan “tidak akan memudharatkannya”
yakni setan tidak akan menyelewengkannya (menyimpangkannya) dari
agamanya kepada kekufuran (murtad -pent) dan tidaklah yang dimaksud
bahwasanya ia (anak tersebut) terpelihara dari godaan setan untuk
berbuat maksiat (yakni tidak berarti anak tersebut suci dari perbuatan
maksiat yang tidak sampai memurtadkannya dari Islam -pent). Masih banyak
pendapat-pendapat yang lain tentang makna “setan tidak akan memudharatkannya”, bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari juz 9, hal. 229 dan dalam Syarhu Muslim jilid 4, juz 10, hal. 5.
Dalam hadits di atas terkandung
pengarahan bagi orang tua agar tidak meninggalkan doa. Doa akan dapat
melindungi anak dan membentenginya dari gangguan setan tatkala (calon
anak tersebut) diletakkan dalam rahim. Hal ini karena setan
terus-menerus mendekati (atau bersama) dengan anak Adam dan tidak akan
menjauh darinya kecuali bila anak Adam itu berdzikir kepada Allah dan
memohon perlindungan kepada-Nya dari gangguan/godaan setan. Inilah
perhatian Islam yang besar terhadap penjagaan janin yang dikandung
seorang ibu, sejak dimulainya pembentukan janin tersebut dalam rahim
ibunya sampai terlahir ke alam ini. (Lihat Ahkamuth Thifl bab Maa Yuqaalu ‘inda al-jima’ lihifz ath-thifl oleh Ahmad Al-‘Aysawi).
Termasuk pula penjagaan Islam terhadap janin adalah apa yang disabdakan oleh Rasululllah Shallallâhu ‘Alaihi Wa Sallam berikut ini:
اُقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ فَإِنَّهُ
يَطْمِسُ الْبَصَرَ وَيُصِيْبُ الْحَبَلَ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ٣٣٠٨
عن عائشة رضي الله عنها)
“Bunuhlah dza ath-thufyatain (nama dari sejenis ular berbisa -pen) karena dapat membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan.” (HR. Bukhari no. 3308 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ)
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Bukhari no. 3297 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar dengan berkata:
اُقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوْا ذَا
الطُّفْيَتَيْنِ وَالأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ
وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ. (أخرجه مسلم ص ٢٢٣٣)
“Bunuhlah ular-ular dan bunuhlah dza ath-thufyatain dan abtar (nama dari dua jenis ular berbisa) karena keduanya membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan.” (HR. Muslim hadits no. 2233)
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/401 membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr: “Bahwasanya dza ath-thufyatain adalah sejenis ular yang di punggungnya terdapat dua buah garis berwarna putih.” Adapun “Al-Abtar” kata Al-Hafizh adalah: “(Ular) yang terpotong ekornya (seolah-olah ekornya terpotong karena pendeknya).”
An-Nadhr bin Syumail menambahkan bahwasanya ular itu berwarna biru dan
tatapan matanya dapat menggugurkan kandungan wanita yang hamil. Berkata
Ad-Dawudi: “Ular jenis ini ukurannya sejengkal atau lebih besar sedikit.” (Lihat Fathul Bari juz 9)
Islam menuntunkan bagi wanita yang sedang
hamil untuk terus memberi makan pada janinnya agar dapat tumbuh
berkembang dengan baik. Karena itulah syari’at Islam memberikan
keringanan (rukhshah) untuk berbuka puasa bagi wanita hamil, baik puasa
wajib terlebih lagi puasa sunnah. Dalam hadits Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam disebutkan bahwasanya seorang laki-laki datang menemui beliau Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam di Madinah tatkala beliau sedang makan siang, maka beliau bersabda kepadanya (artinya):
“Mari makan siang.” Laki-laki itu menjawab: “Aku sedang puasa.” Maka Nabi Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla meletakkan (menggugurkan
kewajiban) puasa bagi musafir dan mengurangi setengah dari shalat
(qashar -pen) dan (menggugurkan kewajiban puasa tersebut) dari wanita
yang hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu
Majah. Hadits ini memiliki syahid dari hadits lain yang diriwayatkan
oleh Nasa’i, lihat Sunan Nasa’i 4/180-182, dan juga Ibnu Majah no. 1668. Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i, dan beliau berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1353: “Hadits hasan shahih,” wallahu a’lam).
Islam juga menuntunkan agar setiap hamba
senantiasa berupaya untuk terus mendekatkan dirinya kepada Dzat yang
telah menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang
paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya
adalah memperbanyak taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla
dengan ibadah seperti shalat, do’a, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Ini
penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang dengan
iman tersebut insyaAllah ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh
orang tua, bahwasanya seorang anak bisa tetap menjadi manusia yang baik
selama fithrahnya terus dijaga dan dididik dengan tarbiyah islamiyah yang shahihah. Karena itu bila orang tua mendambakan agar anaknya kelak menjadi “manusia yang baik” dalam arti yang sebenarnya, maka hendaklah mereka mulai dari diri mereka sendiri, menyiapkan diri, berbekal ilmu dan amal.
Penutup
Syari’at Islam sudah terlalu cukup untuk
kita. Tak ada satu sisi kehidupan pun atau satu masalah pun melainkan
sudah diatur dalam syari’at Islam. Bagaimana tidak, padahal yang
menetapkan syari’at tersebut adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
Rabbnya sekalian manusia yang Maha Tahu apa yang dapat mendatangkan
maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan Maha Tahu apa yang dapat menimbulkan
mudharat bagi mereka. Karena itu tengoklah kepada syari’at Islam ini
saja, jangan berpaling pada yang lain. Timbanglah segala sesuatu dengan
syari’at ini. Bila ternyata bertentangan, tinggalkan tanpa keberatan
sedikitpun.
Wallahu a’lam.
Maraji:
1. Ahkamuth Thifl, Asy-Syaikh Ahmad Al-‘Aysawi
2. Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, bersama tahqiq.
3. Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam Nawawi